
Dalam artian
jika beliau memuat barang di Banda Aceh kemudian mengantarnya ke Medan, berarti
sampainya di Medan nantinya beliau telah ditunggu oleh penerima barang,
begitupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan teknologi yang dikala itu sudah
berkembang, namun belum merata serta secangih dan sepesat seperti dijaman era
global yang sekarang ini. Sehingga sipengantar barang tadipun harus melalui
jalan dengan tanpa pernah melakukan kontak perantara antara sipengirim dan
sipenerima, melainkan langsung dengan cara tatap muka sipengirim dan tatap muka
dengan sipenerima setibanya nanti.
Yang menarik
dalam proses ini adalah menjadi sipengantar barang(ayah saya), dimana dalam
perjalanannya beliau tiada dapat dihubungi baik oleh sipengirim maupun oleh sipenerima.
Namun tetap saja beliau bisa sampai ketujuan sebagaimana yang diperintahkan
oleh sipengirim barang sebelumnya –tanggung jawab besar tentunya yang harus
dijawab–. Begitu sampai ditempat tujuan, sipengantar barang hanya bisa
mengandalkan selembar surat pengantar dengan jenis dan banyaknya barang
tertentu, yang disertakan alamat tempat tujuan pengiriman serta dibubuhi tanda
tangan dan cap sipengirim, sebagai alokasi dimana nantinya barang tersebut akan
dibongkar. Sipengantar tentunya hanya punya selembar kertas untuk dapat sampai
ketempat tujuan dan menunaikan tugas yang telah diembankan kepadanya.
Dalam konteks
seperti ini, bisa saja sipengantar harus putar-putar terlebih dahulu untuk
mencari tempat tujuan barang, sebelum akhirnya barang tersebut dibongkar. Tentunya waktu yang tersisihkan akan lebih
banyak, dibandingkan dengan masa sekarang, diimana siapapun yang bertugas
mengantar barang hanya perlu menelpon tempat tujuannya, agar tidak sampai harus
berputar-putar untuk sampai ke tempat tujuannya. Namun demikian, satu hal yang
perlu diperhatikan disini adalah bagaimana jalinan komunikasi yang terjadi
antara sipengantar dengan sipemilik barang ataupun dengan sipenerima barang.
Pada eranya ayah saya, jika tanpa mental dan keberanian juga kejujuran serta
kemampuan untuk berkumunikasi dengan baik bisa saja barang tersebut tidak akan
sampai ketempat tujuan. Hal ini dikarenakan komunikasi yang terjalin
mengharuskan setiap orang yang terlibat akan terlibat secara langsung, beda
halnya dengan jaman sekarang dimana siapapun tinggal menelpon saja untuk
berkomunikasi, dan tentunya orng yang ditelpon pun langsung ke target yang
sudah di tentukan tadi. Jika berkomunikasi seperti dimasa era ayah saya, untuk
menanyakan tempat tujuannya kadang juga mesti melibatkan orang yang tidak ada
hubungannya dengan barang yang diantar tersebut. Bandingkan dengaan masa
sekarang, dengin pemikiran dan sistem kerja orang yang sudah modern, beda jauh
tentunya.
Maka dalam hal ini, penulis punya argumen tentang seberapa, atau apakah
media sosial itu benar-benar sosial?
Jawabannya tentu, jika dilihat dari segi kemudahan dan untuk menghemat
waktu yang diperlukan, maka media sosial dapat dikatakan benar-benar soaial,
dan tentunya sangat membantu semua kalangan dalam hal berkomunikasi,
sebagaimana diketahui sebelumnya kita tidak pernah bisa berkomunikasi dengan
anggota keluarga maupun sahabat atau teman lama kita yang sudah diluar daerah.
Namun kehadiran berbagai macam media sosial dimasa sekarang memudahkan semua
itu, bahkan kita juga lebih mudah dalam bergaul dan mencri teman baru hanya
dengan “Klick” saja. Hal itu akan
menjadi suatu perkembangan yang sangat luar biasa dalam kehidupan ini.
Namun demikian jika ditilik dari sisi perkembangan moral, saya rasa kita
semua sedikit banyaknya mengutuk perkembangan teknologi yang begitu pesat ini.
Sebagaimana diketahui maraknya penipuan yang dilakukan melibatkan media sosial
ini benar-benar sangat merugikan siapapun yang menjadi korban. Sampai saat ini,
sudah berapa banyakkah kerugian yang menimpa pengguna media sosial yang tak
pernah dihitung dalam angka, yang tentunya sudah merugi hanya gara-gara media
sosial. Tentunya siapapun tidak ingin menjadi korban penipuan seperti demikian.
Demikian lagi, media sosial sekarang justru menjauhi orang-orang dari
kehidupan sosial, karenanya untuk menjalin komunikasi penting sekalipun oarang
dijaman sekarang lebih memilih untuk membahasnya dimedia, bukannya secara
langsung. Sedikit naif memang, karena bisa saja percakapan atau obrolan yang
terjadi melalui media bukanlah obrolan seputar kenyataan, melainkan hanya
karangan, lalu ada pihak tertentu yang dengan yakin menganggapnya benar,
sehingga lahirlah penipuan-penipuan online yang merugikan sepihak, yang
ujung-ujungnya bahkan ada berakibat pada usaha pihak tertentu yang bangkrut.
Semua itu terjadi begitu saja tanpa sedikit pun kita menduga atau tersadar.
Atas dasar itu, perlu ada kesadaran dari diri kita, dari pribadi kita
masing-masing untuk dapat mewanti-wanti terjerumusnya kita dalam bentuk tipuan
atau terbuainya hasrat kita untuk menipu. Dengan teknologi yang sudah merajai
masa, mengabaikan kecanggihan yang serba instan dan otomatis untuk kembali ke
kebiasaan yang serba manual nan lamban sudah dapat dipastikan tidak lagi
mungkin terjadi. Maka dari itu, perlu adanya sikap tanggung jawab dan kejujuran
dari nurani kita agar berbagai macam kejahatan yang tidak pernah kita harapkan
terjadi, mengacaukan kebenaran yang mestinya kita alami. Lantas atas segala
pertimbangan yang telah dipikir-pikir, menganai kerugian akibat media sosial,
baik dari segi siapa yang akan kita dirugikan atau siapa yang akan merugikan
kita. Dengan ini kita tanyakan kembali pada diri kita, MEDIA SOSIAL, SOSIALKAH? (dawa)
No comments:
Post a Comment
MBLB