twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Social Icons

Sunday, 6 September 2015

Masa Konfilk; Sepenggal Kisah di Bumi Aceh

Tahun 2002, Zaki tak mengingat persis tanggal dan bulannya secara pasti, yang jelas dihari itu Zaki merasakan ketakutan yang  teramat dalam, tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah gemuruh kontak senjata terjadi dihari itu yang membuat semua orang tersedu-sedu dalam ketakutan. Zaki yang ketika itu masih berumur delapan tahun, tahu betul bahwa kontak antara dua pasukan bersenjata sedang berlangsung.
Tak jauh, Zaki bahkan dapat menebak bahwa suara senapan menyembul itu begitu dekat dengan tempat dimana ia berada saat itu. Zaki bersama keluarganya hanya bisa bersembunyi dibalik tembok rumah setengah permanen, yang diyakini bisa jadi benteng untuk menghadang derasnya hujanan butir peluru yang menyembul dari senapan. Dalam hati Zaki hanya bisa berdo’a seraya berharap tak akan terjadi apa-apa pada dirinya dan keluarga yang bersamanya waktu itu, serta ayahnya yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Saat itu ayahnya seperti biasa mencari nafkah di warung kopi miliknya yang juga terletak tak jauh dari rumahnya didesa tersebut.
Kaplueng… kaplueng… bek kajak keunan…” demikian ucapan terdengar, layaknya instruksi yang diberikan oleh salah seorang kombatan ketika itu, yang bermaksud meminta rekannya untuk lari dan jangan pergi kearah tertuju, dikarenakan sebab tertentu yang terjadi ketika itu. Tak terbantahkan memang, pertempuran tempo hari memang berjalan sengit, awalnya keduabelah pihak sama-sama terperangkap dan tak dapat mengelak satu sama lain untuk saling menyerang ditempat terbuka yang tanpa sengaja mempertemukan keduanya. “tham… thum… thie… thie… thie… thub… thub…” begitulah, suasana gemuruh padu terdengar yang berasal dari lontaran martil yang tersembul dari senapan, seakan semua itu menjadi bunyi yang berirama yang tak ingin dinikmati, tapi tak dapat pula untuk dilupakan dalam kurun waktu tak tentu. Begitu menakutkan, bahkan menutupi kedua telinga sekalipun tak akan mampu meredam hentakan bunyi ketakutan yang begitu keras terdengar. Sesekali bahkan terlihat jelas lewat jendela, peluru aktif melintas diluar sana, merah menyala, meluncur sekejap mata yang bertujuan entah kemana dan mendarat entah dimana.
Nek Kari, yang katika itu bersama Zaki langsung menjulurkan kedua tangannya untuk merangkul dan memeluk Zaki yang sudah gemetar dan sangat ketakutan dengan keadaan yang sedang terjadi saat itu. Nek kari begitu paham keadaan Zaki saat itu, bocah kecil yang tersedu dalam pertempuran dua serdadu, yang takut dalam keadaan pekatnya hari disiang bolong dimasa itu. Dalam dekapan Nek Kari, raut wajah Zaki terlihat sedikit merasa lebih tenang, sepertinya dia merasa aman berada dalam dekapan neneknya tersebut. Zaki memang tergolong masih kecil untuk berhadapan langsung dengan peristiwa semacam itu, apalagi untuk wilayah yang tengah dilanda konflik, jangankan anak berumur delapan tahun, orang dewasa sekalipun kalau harus berhadapan dengan senjata mesti tunduk juga akhirnya.
Satu jam kontak senjata berlangsung, rasanya seperti seharian terkurung dibalik beton persembunyian. Perang pun mereda, bayangan ketakutan masih tersisa. Sampai akhirnya orang-orang berani keluar rumah, beranjak dari tempat persembunyian untuk melihat keadaan sekeliling setelah kontak senjata berlangsung. Seiring kemudian ketakutan dibenak Zaki akhirnya hilang, dia keluar rumah untuk  bertemu sapa dengan kawan sebaya sambil bercerita tentang peristiwa dan keadaan yang baru saja menimpa mereka. Sambil mengutip dan mengumpulkan “saruek aneuk bude” yang berserakan dijalan –ini memang sudah menjadi kebiasaan tersendiri bagi anak seumuran waktu itu-, salah seorang dari mereka, Rahman bekata “Bunoe Polem Wahab keunong tembak bak sapai… leuh nyan dibri ubat buet awak nyan…” artinya kurang lebih, tadi Polem Wahab tertembak dilengan, tapi kemudian mereka mengobatinya. Zaki dan kawan-kawannya yang sudah terlihat riang mulai kembali sedikit muram mendengar cerita dari Rahman tersebut, yang mereka tau jika peluru menusuk kulit pasti rasa sakit akan bangkit. Dengan wajah muram dan perasaan ketakutan, wereka pun akhirnya bubar dan kembali pulang kerumah masing-masing sambil membawa sekantong “saruek aneuk bude” yang mereka kutip dijalanan.
Tak lama sepulagnya Zaki dirumah, akhirnya ayahnya pun tiba di rumah. Dengan keringat yang masih merintik didahinya, terlihat jelas betapa dirinya sangat kelelahan. Maklum saja, berjualan diwaktu itu cukup menyulitkan, karena harus berhadapan keadaan yang sifatnya tidak pasti, dimana tidak ada orang yang dapat menebak dan tau kapan pertempuran itu akan pecah. Sipemilik warung  tentunya harus siap siaga dengan keadaan yang akan terjadi. Disamping itu, bukan hanya sipemilik warung yang harus menyelamatkan diri, tetapi warung juga harus diselamatkan, setidaknya dengan memastikan pintu warung harus tertutup. Jika tidak, kalau bukan  barang-barangnya yang hilang, ya  barang-barangnya yang berantakan.
Zaki yang masih lugupun langsung menyambut ayahnya dengan membekap manja sang ayah, dia bertanya “Na neupuwoe kueh yah?” (apa ayah ada bawa pulang kue?), dengan nada lelah spontan ayahnya pun menjawab “pajan tatumeung puwoe kueh, tawoe droe teuh mateng rap han meutumeung…” maksudnya mana sempat bawa pulang kue, diri sendiri saja hampir tak sempat pulang. Zaki kecil mengerti maksud ayahnya itu apa, tanpa berkata lagi diapun membiarkan ayahnya itu beristirahat untuk melepaskan penat karena lelah. Satu hal yang tidak dimengerti Zaki waktu itu adalah keluar  dari rumah dimasa itu, tidak ada jaminan bahwa akan kembali pulang kerumah.
Zaki pun memilih untuk pergi dan akhirnya  mengajak adiknya bermain dihalaman rumahnya, “saruek aneuk bude” yang dikumpulkan bersama teman-temannya tadi menjadi permainannya kali ini. Mula-mula sekantong “saruek aneuk bude” tersebut dibaginya menjadi dua paruh, separuh untuknya dan separuhnya lagi dikasih buat adiknya. Belum sempat mereka bermain, ibunya pun tiba “pat kacok atanyan dum? Kaboeih keudeh, nyan dijak awak nyan u rumoh dipoh teuh entreuk, meuhan jak tanom kedeh aleh…” maksudnya dapat dari mana semua itu? buang sana, nanti datang orang itu bisa dipukul kita, kalau nggak dikubur saja sana. Mendengar perkataan ibunya seperti itu, dengan sedikit kesal karena belum lagi sempat bermain, cepat-cepat Zaki mengumpulkan kembali “saruek aneuk bude tersebut, kemudiam digalinya sebuah lobang, lalu dikuburnyasaruek aneuk bude” ke dalam lobang yang digalinya. Zaki sedikit kecewa, karena awalnya ia berniat untuk menyimpan dan mengoleksinya. Tapi apa yang bisa dikata, saat kehendak terpaksa harus dipendam demi keselamatan yang lebih diutamakan, saat pendapat tak boleh diutarakan demi keadaan yang menyisakan duka, semua harapan bagaikan pelangi selepas hujan. Namun jangankan pelangi, hujan pun tak pernah datang, yang ada hanyalah gemuruh suara guntur yang selalu terdengar mencekam dan menakutkan. Jika Zaki sudah paham, mungkin saja ia akan bertanya, kapan hujan itu akan datang?
Zaki waktu itu memang tidak sepenuhnya mengerti apa maksud dari semua itu, dia hanya punya ingatan yang selalu ia simpan dan membawa semua ingatan tersebut sampai ia tumbuh besar. Sekarang ia telah tumbuh, ia pun telah paham apa maksud dan arti dari semua itu, walau Zaki besar tidak dapat merasakan semua peristiwa itu, tapi ingatan masa kecilnya sudah cukup untuk membuat Zaki mengerti tentang semua itu. Sekarang dia tahu tentang apa itu perjuangan, apa itu kasih sayang, apa itu pengabdian, apa itu kesabaran, apa itu keikhlasan, apa itu penerimaan dan apa itu kehidupan. Yang jelas tanpa semua itu, hidup ini akan hancur, mungkin juga tanpa semua itu, Zaki yang sekarang tak akan seperti yang sekarang. Dari sana seorang Zaki banyak belajar, dari sana juga seorang Zaki mengerti cara menghargai dan melindungi. Setidaknya sekarang hujan sudah turun, dan bersama-sama pelangi juga sudah membentang. Zaki sekarang tau seperti apa keindahan pelangi itu sesungguhnya, dan pelangi itu memang indah bukan? Sekarang yang Zaki harap hanyalah semoga pelangi itu tidak membuatnya lalai dengan keindahan dan pesonanya saja. Menemukannya susah, menikmatinya harus, sementara menjagnya, inilah tugas dan wajib hukumnya untuk saat ini. Karena jika hilang, maka berhadapan kembali dengan suara guntur, wajib dilakukan. Sungguh sulit bukan?


Penggubah : ARZANI

No comments:

Post a Comment

MBLB

 
Selamat datang! Terima Kasih! ×