
“Kaplueng… kaplueng… bek kajak keunan…”
demikian ucapan terdengar, layaknya instruksi yang diberikan oleh salah seorang
kombatan ketika itu, yang bermaksud meminta rekannya untuk lari dan jangan
pergi kearah tertuju, dikarenakan sebab tertentu yang terjadi ketika itu. Tak
terbantahkan memang, pertempuran tempo hari memang berjalan sengit, awalnya
keduabelah pihak sama-sama terperangkap dan tak dapat mengelak satu sama lain
untuk saling menyerang ditempat terbuka yang tanpa sengaja mempertemukan keduanya.
“tham… thum… thie… thie… thie… thub…
thub…” begitulah, suasana gemuruh padu terdengar yang berasal dari lontaran
martil yang tersembul dari senapan, seakan semua itu menjadi bunyi yang
berirama yang tak ingin dinikmati, tapi tak dapat pula untuk dilupakan dalam
kurun waktu tak tentu. Begitu menakutkan, bahkan menutupi kedua telinga sekalipun
tak akan mampu meredam hentakan bunyi ketakutan yang begitu keras terdengar. Sesekali
bahkan terlihat jelas lewat jendela, peluru aktif melintas diluar sana, merah
menyala, meluncur sekejap mata yang bertujuan entah kemana dan mendarat entah
dimana.
Nek Kari, yang
katika itu bersama Zaki langsung menjulurkan kedua tangannya untuk merangkul dan memeluk Zaki yang sudah
gemetar dan sangat ketakutan dengan keadaan yang sedang terjadi saat itu. Nek
kari begitu paham keadaan Zaki saat itu, bocah kecil yang tersedu dalam pertempuran dua serdadu, yang takut dalam
keadaan pekatnya hari disiang bolong dimasa itu. Dalam dekapan Nek Kari, raut wajah Zaki terlihat
sedikit merasa lebih tenang, sepertinya dia merasa aman berada dalam dekapan neneknya
tersebut. Zaki memang tergolong masih kecil untuk berhadapan langsung dengan
peristiwa semacam itu, apalagi untuk wilayah yang tengah dilanda konflik,
jangankan anak berumur delapan tahun, orang dewasa sekalipun kalau harus
berhadapan dengan senjata mesti tunduk juga akhirnya.
Satu jam kontak
senjata berlangsung, rasanya seperti seharian terkurung dibalik beton
persembunyian. Perang pun mereda, bayangan ketakutan masih tersisa. Sampai
akhirnya orang-orang berani keluar rumah, beranjak dari tempat persembunyian
untuk melihat keadaan sekeliling setelah kontak senjata berlangsung. Seiring
kemudian ketakutan dibenak Zaki akhirnya hilang, dia keluar rumah untuk bertemu sapa dengan kawan sebaya sambil bercerita
tentang peristiwa dan keadaan yang baru saja menimpa mereka. Sambil mengutip
dan mengumpulkan “saruek aneuk bude”
yang berserakan dijalan –ini memang
sudah menjadi kebiasaan tersendiri
bagi anak seumuran waktu itu-, salah seorang dari
mereka, Rahman bekata “Bunoe Polem Wahab
keunong tembak bak sapai… leuh nyan dibri ubat buet awak nyan…” artinya
kurang lebih, tadi Polem Wahab tertembak dilengan, tapi kemudian mereka
mengobatinya. Zaki dan kawan-kawannya yang sudah terlihat riang mulai kembali
sedikit muram mendengar cerita dari Rahman tersebut, yang mereka tau jika
peluru menusuk kulit pasti rasa sakit akan bangkit. Dengan wajah muram dan perasaan ketakutan,
wereka pun akhirnya
bubar dan kembali pulang kerumah masing-masing sambil membawa sekantong “saruek aneuk bude” yang mereka kutip
dijalanan.
Tak lama sepulagnya
Zaki dirumah, akhirnya ayahnya pun tiba di rumah. Dengan keringat yang masih
merintik didahinya, terlihat jelas betapa dirinya sangat kelelahan. Maklum
saja, berjualan diwaktu itu cukup menyulitkan, karena harus berhadapan keadaan yang sifatnya tidak pasti, dimana tidak ada orang yang dapat menebak dan tau kapan pertempuran itu akan pecah. Sipemilik
warung tentunya harus siap siaga dengan
keadaan yang akan terjadi. Disamping itu, bukan hanya sipemilik warung yang
harus menyelamatkan diri, tetapi warung juga harus diselamatkan, setidaknya
dengan memastikan pintu warung harus tertutup. Jika tidak, kalau bukan
barang-barangnya yang hilang, ya
barang-barangnya yang berantakan.
Zaki yang masih
lugupun langsung menyambut ayahnya
dengan membekap
manja sang ayah, dia bertanya “Na
neupuwoe kueh yah?” (apa ayah ada bawa pulang kue?), dengan nada lelah spontan
ayahnya pun menjawab “pajan tatumeung
puwoe kueh, tawoe droe teuh mateng rap han meutumeung…” maksudnya mana
sempat bawa pulang kue, diri sendiri saja hampir tak sempat pulang. Zaki kecil
mengerti maksud ayahnya itu apa, tanpa berkata lagi diapun membiarkan ayahnya
itu beristirahat untuk melepaskan penat karena lelah. Satu hal yang tidak dimengerti Zaki waktu itu
adalah keluar dari rumah dimasa itu,
tidak ada jaminan bahwa akan kembali pulang kerumah.
Zaki pun memilih
untuk pergi dan akhirnya mengajak
adiknya bermain dihalaman rumahnya, “saruek
aneuk bude” yang dikumpulkan bersama teman-temannya tadi menjadi
permainannya kali ini. Mula-mula sekantong “saruek
aneuk bude” tersebut dibaginya menjadi dua paruh, separuh untuknya dan
separuhnya lagi dikasih buat adiknya. Belum sempat mereka bermain, ibunya pun
tiba “pat kacok atanyan dum? Kaboeih
keudeh, nyan dijak awak nyan u rumoh dipoh teuh entreuk, meuhan jak tanom kedeh
aleh…” maksudnya dapat dari mana semua itu? buang sana, nanti datang orang
itu bisa dipukul kita, kalau nggak dikubur saja sana. Mendengar perkataan
ibunya seperti itu, dengan sedikit
kesal karena belum lagi sempat bermain, cepat-cepat
Zaki mengumpulkan kembali “saruek aneuk
bude” tersebut, kemudiam digalinya sebuah lobang, lalu dikuburnya “saruek
aneuk bude” ke dalam lobang yang
digalinya. Zaki sedikit kecewa, karena awalnya ia
berniat untuk menyimpan dan mengoleksinya. Tapi apa yang bisa dikata, saat
kehendak terpaksa harus dipendam demi keselamatan yang lebih diutamakan, saat
pendapat tak boleh diutarakan demi keadaan yang menyisakan duka, semua harapan bagaikan
pelangi selepas hujan. Namun jangankan pelangi, hujan pun tak pernah
datang, yang ada hanyalah gemuruh suara guntur yang selalu terdengar mencekam
dan menakutkan. Jika Zaki sudah
paham, mungkin saja ia akan bertanya, kapan hujan itu akan datang?
Zaki waktu itu
memang tidak sepenuhnya mengerti apa maksud dari semua itu, dia hanya punya
ingatan yang selalu ia simpan dan membawa semua ingatan tersebut sampai ia
tumbuh besar. Sekarang ia telah tumbuh, ia pun telah paham apa maksud dan arti dari semua itu, walau Zaki besar
tidak dapat merasakan semua peristiwa itu, tapi ingatan masa kecilnya sudah
cukup untuk membuat Zaki mengerti tentang semua itu. Sekarang dia tahu tentang
apa itu perjuangan, apa itu kasih sayang, apa itu pengabdian, apa itu
kesabaran, apa itu keikhlasan, apa itu penerimaan dan apa itu kehidupan. Yang
jelas tanpa semua itu, hidup ini akan hancur, mungkin juga tanpa semua itu, Zaki yang sekarang tak akan seperti yang
sekarang. Dari sana seorang Zaki banyak belajar, dari sana juga seorang Zaki
mengerti cara menghargai dan melindungi. Setidaknya
sekarang hujan sudah turun, dan bersama-sama pelangi juga sudah membentang. Zaki sekarang tau seperti apa keindahan pelangi
itu sesungguhnya, dan pelangi itu memang indah bukan? Sekarang yang Zaki harap hanyalah semoga pelangi itu tidak membuatnya lalai dengan keindahan dan pesonanya
saja. Menemukannya susah,
menikmatinya harus, sementara menjagnya, inilah tugas dan wajib hukumnya untuk
saat ini.
Karena jika hilang, maka berhadapan kembali dengan suara guntur, wajib
dilakukan. Sungguh sulit bukan?
Penggubah : ARZANI
No comments:
Post a Comment
MBLB