twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Social Icons

Sunday, 6 September 2015

Kisah Teladan; Karena Air Sungai Mengalir ke Laut

Seperti biasanya saat pagi menjelang, azan subuh berkumandang “Allahuakbarullahuakbar....” Herman terjaga dari tidur nyenyaknya, menguap lebar sambil merenggang badan untuk melepas kekakuan yang mengikat tubuhnya. Herman bergegas, berpakaian lengkap dengan sarung, tak lupa ia kenakan peci dikepala, lalu beranjak kemesjid untuk melaksanakan kewajibannya...

Matahari sudah telihat, seperti biasanya ia mengenakan seragam lusuh, lalu menuju sekolah tempat ia belajar. Herman bukan anak yang pintar, ia bukan juga anak yang bodoh. Setidaknya ia mau sekolah walau prestasi bukanlah tujuannya, itulah Herman sianak malang yang terlihat baik-baik saja. Dikelas ia hanya jadi seorang pendiam, tanpa sepatah kata, tanpa seuntai canda, dia hanyalah sebatas Herman yang kelihatannya lebih dari sekedar Herman. Sesekali tersenyum, lalu muram lagi, seperti itu menjadi ciri khas seorang Herman yang begitu demannya ia menjadi pemalu. Herman bukan hanya pendiam, tapi dia juga seorang pemalu.
Bukan hanya disekolahnya, tapi juga dilingkungan sosial lainnya. Herman seperti tidak tau untuk berkata apa ketika ia berpas-pasan dengan lingkungan, yang selalu menuntut ia untuk buka mulut, namun Herman selalu memilih bungkam. Bahkan untuk menemui apa yang ia cari, Herman lebih terbiasa mematai-matai terlebih dahulu sebelum akhirnya menemukan apa yang dikehendaki. Herman seperti tidak berkutat, apa yang dia perbuat tak lepas dari perasaan grogi yang menggoyahkan mental dan selalu saja hampir menggagalkan, bahkan menghambat segala keinginannya. Herman seperti terperangkap, dalam hati dan pikiran sadarnya ia selalu ingin hidup sebagaimana lingkungan menginginkan dia. Tapi Herman belum kuasa, ia seperti tak bertenaga saat mencoba melawan berontakan asa yang mengekang jiwanya. Herman bukannya tak menyadari kalau jiwanya seperti terperangkap, ada keinginan dalam hatinya tapi terlanjur dibuai kenyamanan pada dirinya. Herman seperti sudah lupa total tentang apa itu lingkungan sosial.
Jika ada kemampuan dan keberanian yang ia miliki itulah ketekunan, kepatuhan serta ketaatannya kepada Tuhan yang tiada pernah ia tinggalkan. Herman memang sangat baik dari segi pengabdian, tidak hanya pada Tuhan tapi juga untuk keluarganya. Dia anak yang bertanggungjawab, yang tau apa yang semestinya dilakukan dan apa yang tak harus dikerjakan. Andai saja ia mampu demikian samanya pada lingkungan yang menuntutnya, namun demikian ia terlalu segan. Hingga hari-harinya, hidupnya tak jauh dari rumah tempat ia tinggal dan sekolah tempat ia belajar. Jika ada selain keduanya, itulah ditempat pengajian dimana ia belajar agama. Hidupnya begitu kaku, terlalu bisu untuk dikisahkan, namun semua itu tidak membudidaya dan merenggut keseluruhan prinsip lakunya. Sepenakut apapun ia, sediam apapun ia pada kenyataannya, Herman masih mampu memisahkannya jika itu membimbingnya untuk mengenal hukum dan aturan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin dalam hal ini justru takutnya itu yang justru membantu ia untuk takut hingga menjadikan ia patuh dengan aturan Tuhan.
Herman masih saja dikambinghitamkan rasa takut terhadap lingkungan sosialnya, sampai kemudian ia lulus dari SMA. Herman sepertinya akan jadi simbol dari rasa takut abadi yang digelarkan dari prestasi pendiamnya yang selalu saja mampu dipertahankannya. Hatinya gelisah, karena hidup sepertinya belum akan berubah untuk sekarang. Atau bahkan ia akan terperangkap selamanya dengan cara hidup yang sama, dengan keadaan yang sama dan bertahan dengan anggapan lingkungan yang seperti tak bersahabat bagi dirinya. Herman semakin gundah, ia seperti terbang ke puncak gelisah, ia terus berusaha, mencari cara untuk memecahkan masalah yang membuat dirinya selalu kalah, yang membuat dirinya selalu salah. Herman seperti sudah lupa arah, ia masih terus menggeledah otak lunaknya, yang membuat jantungnya bertedak keras, hingga hatinya seperti mengguncang ganas, ia terus memeras pikirannya hingga ia lemas, lalu ia tertidur...
Keesokannya, ia masih belum bisa menemukan jawaban kegelisahan yang hendak memenggal asa hidup sosialnya. Kegelisahan seperti tak akan lepas dari hidupnya, Herman menggerakkan badannya selangkah demi selangkah, jauh kaki terseret langkah yang tiada jelas hendak kemana tujuannya. Ia terus melangkah, tanpa pernah sekalipun menoleh, seperti baru kali ini ia behasil menatap arah dengan rasa optimis dan mengalahkan rasa pesimis yang selama ini mengalahkan jiwanya. Sampai akhirnya Herman berada ditepi sungai, ia menoleh, lalu turun kesungai, diambilnya sedikit air yang ditampung dengan kedua tangannya lalu dibasuh wajahnya. Herman benar-benar lusuh, dengan tatapan kosong yang begitu menyentuh ia menyorot air sungai, Herman seperti belum mau beranjak dari tepi sungai sampai ia kaku didalam waktu. Sejenak kemudian Herman terkejut, lalu ia coba arahkan pandangan kekedua kakinya. Dia melihat ada bongkahan sampah yang tersangkut dikakinya, diambilnya bongkahan tersebut lalu dilepaskan dan dibiarkannya sampah tersebut dialiri air sungai. Herman tidak melepas tatapannya yang terus mengarah mengikuti gerak sampah tersebut, ia menatap dengan tajam tanpa sedikitpun menoleh sampai akhirnya bongkahan sampah menghilang dari batas pandangnya.
Herman masih terpaku disitu, belum hendak bergerak, ia masih belum tau apa yang dia mau. Hingga hari pun menjelang malam, ia masih terpaku dalam lamunan yang tiada ia tau. Sampai adzan magrib menyadarkannya dari lamunan yang panjang, barulah ia bergegas pulang untuk melaksanakan kewajibannya pada Tuhan.
Malam itu, seperti biasa ia mencuci kedua kakinya terlebih dahulu, lalu beranjak tidur untuk melepas penat dan rasa lelah akibat gelisah yang tak kunjung punah. Diatas tempat tidurnya, ia sudah terbaring, pikirnya masih saja menyaring kegundahan yang selalu berakhir dengan gaduhnya kegelisahan. Ia tak berhenti berpikir, mengingat-ngingat hingga menerawang dengan berandai-andai tentang hidupnya. Begitu  terus ia tekankan pikiran serta ingatannya, hingga ia tersadar. Herman merasa seperti ada bisikan dikedua telinganya, mencoba menyadarkannya atas apa yang ia lihat. Bongkahan sampah yang dibawa arus sungai. Apa yang ia tangkap dari bisikan bongkahan sampah disungai tersebut?
Herman mengumpamakan dirinya adalah bongkahan sampah, sementara aliran air sungai diumpakan sebagai jalan hidupnya. Menilik sebagaimana bongkahan sampah tersebut mengalir dibawa arus sungai, ia menganggap hidupnya sekarang tak lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang dialami bongkahan sampah tersebut. Pasrah dibawa arus dan sesekali tertahan, mengingat bagaimana sampah tersebut tersangkut dikakinya. Lama-lama Herman semakin menemukan kejelasan dari kejadian yang dialami sampah tersebut, ia kembali berpikir untuk menjadikannya sebagai sampah yang dialiri oleh arus sungai tersebut. Ia mengerti, tak ada gunanya melawan arus, saat hidup sudah terlanjur mengalir. Sederas maupun sepelan manapun mengalirnya arus hidup, lebih baik menikmati alirannya daripada mencoba melawan kehendak arus yang terus membawa. Sesekali tersangkut sepertinya menjadi anugrah yang langka yang harus benar-benar dinikmati sebelum akhirnya terseret lagi. Begitulah rupanya hidup, Herman begitu mantap dengan kebijakan dari pemikirannya. Hingga arus hidupnya kembali menyeretnya untuk terlelap...
Hari selanjutnya kembali menyapa, jawaban yang ia cari kian sempurna, ia ingin keluar dari lingkungan hidup sosialnya saat ini. Dengan tanpa melawan arus, ia mencoba mencari jalan, jalan keluar agar berpisah dengan rasa takutnya untuk bersapa dengan lingkungan. Lama ia renungkan, Herman akhirnya sadar, satu-satunya jalan yang akan ia tempuh adalah mencari lingkungan baru yang tidak mengenali dia sebagaimana lingkungan tempat ia tinggal mengenal dirinya. Dipikirannya terbesit untuk melaksanakannya dengan perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari kerabat dan teman-temannya, serta jauh dari lingkungan yang mengenalinya. Tapi kali ini hatinya berkilah, ia berpendapat kalau rencana merantau sulit untuk dicapai, karena besar kemungkinan terhalang izin orang tua. Sebagaimana diketahui orang tua Herman bukanlah orang yang tiada dari segi finansialnya, ayahnya terkenal sebagai seorang pekerja keras, untuk menafkahi keluarga bukannya tidak cukup, bahkan dapat dikatakan lebih, tapi belum dapat dikatakan mencapai garis untuk batasan financial orang kaya. Maka dari itu, memberi izin merantau untuk anaknya yang baru saja lulus dari SMA rasanya tidak dapat terjadi dalam waktu dekat.
Herman menyadari hal tersebut, ia pun tak hilang akal sampai disitu, dengan tekadnya yang sudah bulat untuk menghidupkan asa sosialnya, Herman pun akhirnya menghampiri kedua orangtuanya, lalu meminta agar orang tuanya memberi izin untuknya menduduki bangku kuliah diluar daerah, yang berarti diluar dari lingkungan yang mengenalinya. Mendengar permintaan anaknya tersebut demikian, tidak sulit buat kedua orang tua Herman memberikan lampu hijau untuknya. Herman dapat tersenyum ketika itu, dalam hatinya kembali diikuti rasa senang yang tiada tandingnya karena sadarnya ia tentang besarnya tujuan yang ingin dicapai. Herman mengusap dada, tak lupa rasa syukur pada Tuhan dialamatkannya. Mulai saat itu, setiap sehabis shalat ia tak lupa memanjatkan doa, agar Allah senantiasa mengabulkan harapan serta keinginannya agar dapat diterima dibangku kuliah yang ia dambakan. Walau tujuan utamanya kuliah hanya untuk memulihkan karakter penakut yang telah lama berbudi luhur bersama-sama dengan sifat pendiamnya. Herman tidak menyarah begitu saja, dari situ keinginannya untuk berubah sudah terlihat jelas...
Sampai pada akhirnya Herman dinyatakan lulus dan diterima disalah satu Perguruan Tinggi Negeri(PTN) diluar daerah seperti yang dikehendakinya, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman, serta jauh dari lingkungan yang mengenalinya. Herman kembali bersyukur, dia terharu, seakan tak percaya. Bagaimana tidak, jika mengingat bagaimana masa-masa sekolahnya, ia tidak pandai, ia hanya pendiam juga seorang penakut dikelas. Untuk bisa diterima di perguruan tinggi butuh kemampuan yang mumpuni, serta jiwa pemberani untuk melakukannya, tak serta-merta seorang yang tak punya kemampuan apa-apa, yang kebiasaannya hanya berdiam diri bisa diterima begitu saja di perguruan tinggi. Herman sadar betul apa yang telah diperolehnya, bagaikan sebuah keajaiban ketika ia akan melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Seperti doanyalah yang punya andil besar dan telah membantu dia agar dapat menduduki bangku kuliah, Tuhan mengabulkan doa Herman. Herman kembali ke tujuan utamanya, yaitu mengembangkan karakter, membunuh rasa takut dan mengobarkan semangat juang untuk beranjak dari sifat pendiam yang harus ditinggalkannya.
Sekarang Herman sudah jauh dari orang-orang yang mengenalinya, dia akan hidup dilingkungan baru, lingkungan dimana tak ada orang yang tau latar belakangnya yang notabennya sebagai pendiam dan penakut. Sungguh, Herman baru saja terseret arus yang sangat besar, yang menerbangkannya lalu jatuh ke sungai yang lain disebelahnya. Herman menjadi orang beruntung, dilingkungan baru ia bisa bebas memilih karakter apa yang dia inginkan. Ia bisa demikian karena lingkungan barunya tidak tahu menahu tentang lingkungan asalnya. Yang pasti Herman akan dengan senang hati berjuang dilingkungan barunya, bebas bereksperimen dan tak ada lagi rasa takut yang mengganggu dasar hati dan benak jiwanya...
Herman, sungguh besarnya perjuangannya dia, tapi satu hal yang belum diketahui yang sebenarnya terselip dalam kejadian bongkahan sampah yang disungai waktu itu, hal itu adalah “air sungai mengalir kelaut”. Karena demikian, masih ada kemungkinan bongkahan sampah itu akan sampai kelaut. Tempat dimana air berhenti mengalir, lalu gantian ombak yang menyeret bongkahan sampah itu untuk kembali kedaratan. Dan bukan tidak mungkin, Herman dapat mencapai laut itu, karena disana ia telah ditunggu oleh lingkungan baru yang lebih istimewa, sebelum akhirnya ombak menyeretnya kembali kedaratan. Dan ia bebas untuk pulang kelingkungan asalnya atau pergi kelingkungan lain yang belum dikenalinya sama sekali dengan tanpa ada lagi rasa takut yang menghambat langkahnya...
Selamat berjuang Herman...

Penggubah : ARZANI

No comments:

Post a Comment

MBLB

 
Selamat datang! Terima Kasih! ×