Seperti biasanya saat pagi
menjelang, azan subuh berkumandang “Allahuakbarullahuakbar....”
Herman terjaga dari tidur nyenyaknya, menguap lebar sambil merenggang badan
untuk melepas kekakuan yang mengikat tubuhnya. Herman bergegas, berpakaian
lengkap dengan sarung, tak lupa ia kenakan peci dikepala, lalu beranjak
kemesjid untuk melaksanakan kewajibannya...
Matahari sudah telihat, seperti
biasanya ia mengenakan seragam lusuh, lalu menuju sekolah tempat ia belajar. Herman
bukan anak yang pintar, ia bukan juga anak yang bodoh. Setidaknya ia mau
sekolah walau prestasi bukanlah tujuannya, itulah Herman sianak malang yang
terlihat baik-baik saja. Dikelas ia hanya jadi seorang pendiam, tanpa sepatah
kata, tanpa seuntai canda, dia hanyalah sebatas Herman yang kelihatannya lebih
dari sekedar Herman. Sesekali tersenyum, lalu muram lagi, seperti itu menjadi
ciri khas seorang Herman yang begitu demannya ia menjadi pemalu. Herman bukan
hanya pendiam, tapi dia juga seorang pemalu.
Bukan hanya disekolahnya, tapi
juga dilingkungan sosial lainnya. Herman seperti tidak tau untuk berkata apa
ketika ia berpas-pasan dengan lingkungan, yang selalu menuntut ia untuk buka
mulut, namun Herman selalu memilih bungkam. Bahkan untuk menemui apa yang ia
cari, Herman lebih terbiasa mematai-matai terlebih dahulu sebelum akhirnya
menemukan apa yang dikehendaki. Herman seperti tidak berkutat, apa yang dia
perbuat tak lepas dari perasaan grogi
yang menggoyahkan mental dan selalu saja hampir menggagalkan, bahkan menghambat
segala keinginannya. Herman seperti terperangkap, dalam hati dan pikiran
sadarnya ia selalu ingin hidup sebagaimana lingkungan menginginkan dia. Tapi
Herman belum kuasa, ia seperti tak bertenaga saat mencoba melawan berontakan
asa yang mengekang jiwanya. Herman bukannya tak menyadari kalau jiwanya seperti
terperangkap, ada keinginan dalam hatinya tapi terlanjur dibuai kenyamanan pada
dirinya. Herman seperti sudah lupa total tentang apa itu lingkungan sosial.
Jika ada kemampuan dan keberanian
yang ia miliki itulah ketekunan, kepatuhan serta ketaatannya kepada Tuhan yang
tiada pernah ia tinggalkan. Herman memang sangat baik dari segi pengabdian,
tidak hanya pada Tuhan tapi juga untuk keluarganya. Dia anak yang
bertanggungjawab, yang tau apa yang semestinya dilakukan dan apa yang tak harus
dikerjakan. Andai saja ia mampu demikian samanya pada lingkungan yang
menuntutnya, namun demikian ia terlalu segan. Hingga hari-harinya, hidupnya tak
jauh dari rumah tempat ia tinggal dan sekolah tempat ia belajar. Jika ada
selain keduanya, itulah ditempat pengajian dimana ia belajar agama. Hidupnya
begitu kaku, terlalu bisu untuk dikisahkan, namun semua itu tidak membudidaya dan
merenggut keseluruhan prinsip lakunya. Sepenakut apapun ia, sediam apapun ia
pada kenyataannya, Herman masih mampu memisahkannya jika itu membimbingnya
untuk mengenal hukum dan aturan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin dalam hal
ini justru takutnya itu yang justru membantu ia untuk takut hingga menjadikan
ia patuh dengan aturan Tuhan.
Herman masih saja
dikambinghitamkan rasa takut terhadap lingkungan sosialnya, sampai kemudian ia
lulus dari SMA. Herman sepertinya akan jadi simbol dari rasa takut abadi yang
digelarkan dari prestasi pendiamnya yang selalu saja mampu dipertahankannya. Hatinya
gelisah, karena hidup sepertinya belum akan berubah untuk sekarang. Atau bahkan
ia akan terperangkap selamanya dengan cara hidup yang sama, dengan keadaan yang
sama dan bertahan dengan anggapan lingkungan yang seperti tak bersahabat bagi
dirinya. Herman semakin gundah, ia seperti terbang ke puncak gelisah, ia terus
berusaha, mencari cara untuk memecahkan masalah yang membuat dirinya selalu
kalah, yang membuat dirinya selalu salah. Herman seperti sudah lupa arah, ia
masih terus menggeledah otak lunaknya, yang membuat jantungnya bertedak keras,
hingga hatinya seperti mengguncang ganas, ia terus memeras pikirannya hingga ia
lemas, lalu ia tertidur...
Keesokannya, ia masih belum bisa
menemukan jawaban kegelisahan yang hendak memenggal asa hidup sosialnya. Kegelisahan
seperti tak akan lepas dari hidupnya, Herman menggerakkan badannya selangkah
demi selangkah, jauh kaki terseret langkah yang tiada jelas hendak kemana
tujuannya. Ia terus melangkah, tanpa pernah sekalipun menoleh, seperti baru
kali ini ia behasil menatap arah dengan rasa optimis dan mengalahkan rasa
pesimis yang selama ini mengalahkan jiwanya. Sampai akhirnya Herman berada
ditepi sungai, ia menoleh, lalu turun kesungai, diambilnya sedikit air yang
ditampung dengan kedua tangannya lalu dibasuh wajahnya. Herman benar-benar
lusuh, dengan tatapan kosong yang begitu menyentuh ia menyorot air sungai,
Herman seperti belum mau beranjak dari tepi sungai sampai ia kaku didalam
waktu. Sejenak kemudian Herman terkejut, lalu ia coba arahkan pandangan kekedua
kakinya. Dia melihat ada bongkahan sampah yang tersangkut dikakinya, diambilnya
bongkahan tersebut lalu dilepaskan dan dibiarkannya sampah tersebut dialiri air
sungai. Herman tidak melepas tatapannya yang terus mengarah mengikuti gerak
sampah tersebut, ia menatap dengan tajam tanpa sedikitpun menoleh sampai
akhirnya bongkahan sampah menghilang dari batas pandangnya.
Herman masih terpaku disitu,
belum hendak bergerak, ia masih belum tau apa yang dia mau. Hingga hari pun
menjelang malam, ia masih terpaku dalam lamunan yang tiada ia tau. Sampai adzan
magrib menyadarkannya dari lamunan yang panjang, barulah ia bergegas pulang
untuk melaksanakan kewajibannya pada Tuhan.
Malam itu, seperti biasa ia
mencuci kedua kakinya terlebih dahulu, lalu beranjak tidur untuk melepas penat
dan rasa lelah akibat gelisah yang tak kunjung punah. Diatas tempat tidurnya,
ia sudah terbaring, pikirnya masih saja menyaring kegundahan yang selalu
berakhir dengan gaduhnya kegelisahan. Ia tak berhenti berpikir,
mengingat-ngingat hingga menerawang dengan berandai-andai tentang hidupnya.
Begitu terus ia tekankan pikiran serta
ingatannya, hingga ia tersadar. Herman merasa seperti ada bisikan dikedua
telinganya, mencoba menyadarkannya atas apa yang ia lihat. Bongkahan sampah
yang dibawa arus sungai. Apa yang ia tangkap dari bisikan bongkahan sampah
disungai tersebut?
Herman mengumpamakan dirinya
adalah bongkahan sampah, sementara aliran air sungai diumpakan sebagai jalan
hidupnya. Menilik sebagaimana bongkahan sampah tersebut mengalir dibawa arus
sungai, ia menganggap hidupnya sekarang tak lebih baik jika dibandingkan dengan
apa yang dialami bongkahan sampah tersebut. Pasrah dibawa arus dan sesekali
tertahan, mengingat bagaimana sampah tersebut tersangkut dikakinya. Lama-lama Herman
semakin menemukan kejelasan dari kejadian yang dialami sampah tersebut, ia
kembali berpikir untuk menjadikannya sebagai sampah yang dialiri oleh arus
sungai tersebut. Ia mengerti, tak ada gunanya melawan arus, saat hidup sudah
terlanjur mengalir. Sederas maupun sepelan manapun mengalirnya arus hidup,
lebih baik menikmati alirannya daripada mencoba melawan kehendak arus yang
terus membawa. Sesekali tersangkut sepertinya menjadi anugrah yang langka yang
harus benar-benar dinikmati sebelum akhirnya terseret lagi. Begitulah rupanya
hidup, Herman begitu mantap dengan kebijakan dari pemikirannya. Hingga arus
hidupnya kembali menyeretnya untuk terlelap...
Hari selanjutnya kembali menyapa,
jawaban yang ia cari kian sempurna, ia ingin keluar dari lingkungan hidup
sosialnya saat ini. Dengan tanpa melawan arus, ia mencoba mencari jalan, jalan
keluar agar berpisah dengan rasa takutnya untuk bersapa dengan lingkungan. Lama
ia renungkan, Herman akhirnya sadar, satu-satunya jalan yang akan ia tempuh
adalah mencari lingkungan baru yang tidak mengenali dia sebagaimana lingkungan
tempat ia tinggal mengenal dirinya. Dipikirannya terbesit untuk melaksanakannya
dengan perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari kerabat dan teman-temannya,
serta jauh dari lingkungan yang mengenalinya. Tapi kali ini hatinya berkilah,
ia berpendapat kalau rencana merantau sulit untuk dicapai, karena besar
kemungkinan terhalang izin orang tua. Sebagaimana diketahui orang tua Herman
bukanlah orang yang tiada dari segi finansialnya, ayahnya terkenal sebagai
seorang pekerja keras, untuk menafkahi keluarga bukannya tidak cukup, bahkan
dapat dikatakan lebih, tapi belum dapat dikatakan mencapai garis untuk batasan
financial orang kaya. Maka dari itu, memberi izin merantau untuk anaknya yang
baru saja lulus dari SMA rasanya tidak dapat terjadi dalam waktu dekat.
Herman menyadari hal tersebut, ia
pun tak hilang akal sampai disitu, dengan tekadnya yang sudah bulat untuk
menghidupkan asa sosialnya, Herman pun akhirnya menghampiri kedua orangtuanya,
lalu meminta agar orang tuanya memberi izin untuknya menduduki bangku kuliah
diluar daerah, yang berarti diluar dari lingkungan yang mengenalinya. Mendengar
permintaan anaknya tersebut demikian, tidak sulit buat kedua orang tua Herman
memberikan lampu hijau untuknya. Herman dapat tersenyum ketika itu, dalam
hatinya kembali diikuti rasa senang yang tiada tandingnya karena sadarnya ia
tentang besarnya tujuan yang ingin dicapai. Herman mengusap dada, tak lupa rasa
syukur pada Tuhan dialamatkannya. Mulai saat itu, setiap sehabis shalat ia tak
lupa memanjatkan doa, agar Allah senantiasa mengabulkan harapan serta
keinginannya agar dapat diterima dibangku kuliah yang ia dambakan. Walau tujuan
utamanya kuliah hanya untuk memulihkan karakter penakut yang telah lama berbudi
luhur bersama-sama dengan sifat pendiamnya. Herman tidak menyarah begitu saja,
dari situ keinginannya untuk berubah sudah terlihat jelas...
Sampai pada akhirnya Herman
dinyatakan lulus dan diterima disalah satu Perguruan Tinggi Negeri(PTN) diluar
daerah seperti yang dikehendakinya, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman,
serta jauh dari lingkungan yang mengenalinya. Herman kembali bersyukur, dia
terharu, seakan tak percaya. Bagaimana tidak, jika mengingat bagaimana
masa-masa sekolahnya, ia tidak pandai, ia hanya pendiam juga seorang penakut
dikelas. Untuk bisa diterima di perguruan tinggi butuh kemampuan yang mumpuni,
serta jiwa pemberani untuk melakukannya, tak serta-merta seorang yang tak punya
kemampuan apa-apa, yang kebiasaannya hanya berdiam diri bisa diterima begitu saja
di perguruan tinggi. Herman sadar betul apa yang telah diperolehnya, bagaikan
sebuah keajaiban ketika ia akan melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
Seperti doanyalah yang punya andil besar dan telah membantu dia agar dapat
menduduki bangku kuliah, Tuhan mengabulkan doa Herman. Herman kembali ke tujuan
utamanya, yaitu mengembangkan karakter, membunuh rasa takut dan mengobarkan semangat
juang untuk beranjak dari sifat pendiam yang harus ditinggalkannya.
Sekarang Herman sudah jauh dari
orang-orang yang mengenalinya, dia akan hidup dilingkungan baru, lingkungan
dimana tak ada orang yang tau latar belakangnya yang notabennya sebagai pendiam
dan penakut. Sungguh, Herman baru saja terseret arus yang sangat besar, yang
menerbangkannya lalu jatuh ke sungai yang lain disebelahnya. Herman menjadi
orang beruntung, dilingkungan baru ia bisa bebas memilih karakter apa yang dia
inginkan. Ia bisa demikian karena lingkungan barunya tidak tahu menahu tentang
lingkungan asalnya. Yang pasti Herman akan dengan senang hati berjuang
dilingkungan barunya, bebas bereksperimen dan tak ada lagi rasa takut yang
mengganggu dasar hati dan benak jiwanya...
Herman, sungguh besarnya
perjuangannya dia, tapi satu hal yang belum diketahui yang sebenarnya terselip
dalam kejadian bongkahan sampah yang disungai waktu itu, hal itu adalah “air sungai mengalir kelaut”. Karena
demikian, masih ada kemungkinan bongkahan sampah itu akan sampai kelaut. Tempat
dimana air berhenti mengalir, lalu gantian ombak yang menyeret bongkahan sampah
itu untuk kembali kedaratan. Dan bukan tidak mungkin, Herman dapat mencapai
laut itu, karena disana ia telah ditunggu oleh lingkungan baru yang lebih
istimewa, sebelum akhirnya ombak menyeretnya kembali kedaratan. Dan ia bebas
untuk pulang kelingkungan asalnya atau pergi kelingkungan lain yang belum
dikenalinya sama sekali dengan tanpa ada lagi rasa takut yang menghambat
langkahnya...
Selamat berjuang Herman...
Penggubah : ARZANI
No comments:
Post a Comment
MBLB