Mungkin hanya aku. Ya! Inilah
aku. Tapi kamu, kamu bukan hanya sebatas kamu. Kamu adalah bagian dari mereka
dan mereka merupakan tempat bersandarnya kamu, mungkin kamu akan sangat lebih
nyaman dengan mereka jika perbandingannya hanya sebatas aku. Dan aku, aku
nyaman! Walau mungkin hadirnya kamu sedikit mengganggu kenyaman itu, hingga
nyamannya aku mulai berpaling dari kepribadianku. Sekarang aku adalah aku
mungkin bukanlah aku pada kenyataan…
Semetara Kamu!
Dibenakku kamu bukanah segalanya,
namun dimataku kau menyimpan beribu pesona. Mungkin rasaku tak mengagumi, namun
penglihatanku tak pernah tau bosan memandang pesonamu. Kelembutan, mungkin juga
ketulusan ataupun memang sudah menjadi kenyamanan bagiku jika yang kulakukan
adalah memandangmu…
Hatiku tak begitu paham, tapi
mata tajamku sangat paham, mana yang harus kuperhatikan dan mana yang tak ingin
kuperhatikan. Mungkin kamu adalah bagian dari pemahaman penglihatan yang dianut
oleh mata tajamku ini…
Pagi itu…
Kuingat hari begitu cerah, embun
pagi begitu merekah. Ya! “embun”… Mungkin “embun” adalah gambaran yang tepat
jika aku ingin menggambarkan pesonamu dipagi itu. Embun bukanlah hal baru di
pagi hari, namun pagi hari tanpa adanya embun terasa ada yang hilang dari
suasana yang begitu mengilhami rasa nyaman itu…
Dan aku melihatmu, mungkin tanpa
kamu takkan ada pemandangan yang begitu nyaman yang mampu merebut pemahaman
penglihatan mataku, tak ada pesona yang dapat kubingkiskan untuk kujadikan
sebuah gambaran bagi embun yang begitu mempesona dipagi itu. Pikirku berhenti
dikamu, mengikuti mataku yang menikmati embun yang menawarkan rasa nyaman itu…
Embun…
Kau tidak berbau, hidung tak akan
tau darimana kau berasal. Kau tak dapat dirasa, tak ada lidah yang tau manis
pahit dan asamnya kamu. Mungkin kau bisa diraba, tapi tak bisa sembarangan
tangan jika yang diraba itu adalah kamu. Tapi mata, mata sangat tau kalau kau
hanyalah pelengkap bagi rerumputan yang terbentang dipagi hari. Dan itu!
“pelengkap”… Siapa pelengkap? Kulihat arah sekitarmu, kuperhatikan orang-orang
sekeliling yang bersamamu disaat itu. dalam batinku berbisik “Merekakah
rerumputan itu?” Ya! “rumput”… mereka
adalah rumput, tak ada satu alasan pun untuk memandang mereka jika mereka itu
rumput. Tapi, tapi kamu? Kamulah embun… Embun yang dipercaya sebagai obat, yang
katanya mampu menguatkan… meninkmati tetesan embun pagi sudah menjadi keinginan
setiap orang, jogging dipagi hari itu untuk menikmati tetesan embun. Tapi
rumput? orang mana yang jogging dipagi hari untuk menikmati bentang helaian rerumputan?
Yang ada orang akan menginjak rerumputan saat mereka hendak melakukan jogging…
Injak…
Rumput itu tempat bersandarnya
embun, semua orang punya alasan untuk menginjak rerumputan meski pun tak ada
embun yang bersandar padanya. Namun, ada rumput yang kadang kala diinjak akan
melukai, walaupun ada embun yang bersandar bersamanya… Dan ini, inilah yang
mendasari aku untuk tidak berani menginjaknya, walau aku menginginkan embun
pagi itu, walau sebenarnya aku berharap embun itu bersandar dibagian tubuhku.
Dan aku, mungkin penakut? Tidak, “pengecut” mungkin lebih tepat, karena
setidaknya aku tidak “takut” walau harus jadi seorang pengecut…
Dengarlah…
Pagi itu mungkin aku terkejut
saat harus berhadapan dengan rumput, tapi pesona yang terpancar kearah mataku
masih terlalu kuat, dan ini mungkin jadi semacam hasrat yang terus menuntun
mataku untuk melihat, kunikmati dari jarak dekat walau tak dapat kusandarkan
diri. kuresapi diam-diam dan kudekati perlahan. Sebelum mentari bersinar terang,
kuyakin saatnya akan datang dan aku percaya kau takkan menghilang…
Karena kamu adalah embun pagi
yang ingin ku genggam… (dawa)
No comments:
Post a Comment
MBLB