twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Social Icons

Saturday, 27 September 2014

Setetes (embun) Pagi

Oleh: Zawil Kiram
Aku…
Mungkin hanya aku. Ya! Inilah aku. Tapi kamu, kamu bukan hanya sebatas kamu. Kamu adalah bagian dari mereka dan mereka merupakan tempat bersandarnya kamu, mungkin kamu akan sangat lebih nyaman dengan mereka jika perbandingannya hanya sebatas aku. Dan aku, aku nyaman! Walau mungkin hadirnya kamu sedikit mengganggu kenyaman itu, hingga nyamannya aku mulai berpaling dari kepribadianku. Sekarang aku adalah aku mungkin bukanlah aku pada kenyataan…

Semetara Kamu!
Dibenakku kamu bukanah segalanya, namun dimataku kau menyimpan beribu pesona. Mungkin rasaku tak mengagumi, namun penglihatanku tak pernah tau bosan memandang pesonamu. Kelembutan, mungkin juga ketulusan ataupun memang sudah menjadi kenyamanan bagiku jika yang kulakukan adalah memandangmu…
Hatiku tak begitu paham, tapi mata tajamku sangat paham, mana yang harus kuperhatikan dan mana yang tak ingin kuperhatikan. Mungkin kamu adalah bagian dari pemahaman penglihatan yang dianut oleh mata tajamku ini…

Pagi itu…
Kuingat hari begitu cerah, embun pagi begitu merekah. Ya! “embun”… Mungkin “embun” adalah gambaran yang tepat jika aku ingin menggambarkan pesonamu dipagi itu. Embun bukanlah hal baru di pagi hari, namun pagi hari tanpa adanya embun terasa ada yang hilang dari suasana yang begitu mengilhami rasa nyaman itu…
Dan aku melihatmu, mungkin tanpa kamu takkan ada pemandangan yang begitu nyaman yang mampu merebut pemahaman penglihatan mataku, tak ada pesona yang dapat kubingkiskan untuk kujadikan sebuah gambaran bagi embun yang begitu mempesona dipagi itu. Pikirku berhenti dikamu, mengikuti mataku yang menikmati embun yang menawarkan rasa nyaman itu…

Embun…
Kau tidak berbau, hidung tak akan tau darimana kau berasal. Kau tak dapat dirasa, tak ada lidah yang tau manis pahit dan asamnya kamu. Mungkin kau bisa diraba, tapi tak bisa sembarangan tangan jika yang diraba itu adalah kamu. Tapi mata, mata sangat tau kalau kau hanyalah pelengkap bagi rerumputan yang terbentang dipagi hari. Dan itu! “pelengkap”… Siapa pelengkap? Kulihat arah sekitarmu, kuperhatikan orang-orang sekeliling yang bersamamu disaat itu. dalam batinku berbisik “Merekakah rerumputan itu?”  Ya! “rumput”… mereka adalah rumput, tak ada satu alasan pun untuk memandang mereka jika mereka itu rumput. Tapi, tapi kamu? Kamulah embun… Embun yang dipercaya sebagai obat, yang katanya mampu menguatkan… meninkmati tetesan embun pagi sudah menjadi keinginan setiap orang, jogging dipagi hari itu untuk menikmati tetesan embun. Tapi rumput? orang mana yang jogging dipagi hari untuk menikmati bentang helaian rerumputan? Yang ada orang akan menginjak rerumputan saat mereka hendak melakukan jogging…

Injak…
Rumput itu tempat bersandarnya embun, semua orang punya alasan untuk menginjak rerumputan meski pun tak ada embun yang bersandar padanya. Namun, ada rumput yang kadang kala diinjak akan melukai, walaupun ada embun yang bersandar bersamanya… Dan ini, inilah yang mendasari aku untuk tidak berani menginjaknya, walau aku menginginkan embun pagi itu, walau sebenarnya aku berharap embun itu bersandar dibagian tubuhku. Dan aku, mungkin penakut? Tidak, “pengecut” mungkin lebih tepat, karena setidaknya aku tidak “takut” walau harus jadi seorang pengecut…

Dengarlah…
Pagi itu mungkin aku terkejut saat harus berhadapan dengan rumput, tapi pesona yang terpancar kearah mataku masih terlalu kuat, dan ini mungkin jadi semacam hasrat yang terus menuntun mataku untuk melihat, kunikmati dari jarak dekat walau tak dapat kusandarkan diri. kuresapi diam-diam dan kudekati perlahan. Sebelum mentari bersinar terang, kuyakin saatnya akan datang dan aku percaya kau takkan menghilang…

Karena kamu adalah embun pagi yang ingin ku genggam… (dawa)

No comments:

Post a Comment

MBLB

 
Selamat datang! Terima Kasih! ×